Hari senin :) ,
hari pertama bekerja/belajar dalam satu minggu. Hari yang kadang gue artikan
sebagai Monster Day (MONDAY) karena hari itu memaksa gue untuk beranjak dari
nikmat dan santainya weekend untuk kembali ke rutinitas pekerjaan.
Namun senin ini sedikit berbeda dari senin-senin sebelumnya.
Hari senin ini merupakan hari pertama sekolah bagi mayoritas pelajar di Belanda
(mungkin juga demikian untuk pelajar di belahan dunia lain). Hari senin ini,
jalanan yang biasa gue lewatin lebih padat daripada biasanya, banyak pelajar
yang menunggu bus di halte bus kampus, dan gedung tempat gue selama ini duduk
berlama-lama di depan monitor dan magang terasa lebih ramai daripada biasanya. Senin
pagi ini pun berhasil menggelitik minat gue untuk coret-coret ringan di blog
ini.
Pagi ini, ketika gue berangkat ke kampus dengan si sepeda
belahan jiwa, yang dipinjamkan oleh seorang warga negara Indonesia baik hati di
Utrecht, ada beberapa anak kecil yang mungkin usianya 6 tahunan sedang naik
sepeda di depan gue. Rasa-rasanya bocah-bocah imut ini adalah anak-anak yang
akan masuk sekolah pertama kali dalam hidup mereka sebab mereka membawa tas
punggung dan bersama dengan orang tuanya. Hal yang sangat aneh dan menyentuh
dari kaca mata ague (yang minusnya ga perlu dipertanyakan lagi). Anak-anak
kecil di sini berangkat sekolah naik sepeda sendiri walau masih belum lancar.
Orang tua mereka mendampingi dari atas sepeda mereka masing-masing, memberi
arahan bagaimana tata tertib bersepeda yang baik. Bahkan ketika ada satu anak
lelaki yang oleng dan hampir jatuh, bapak si anak hanya menyemangati dan membiarkan
anaknya untuk mengatasi persoalannya sendiri.
Gue heran, kenapa hal simple ini mengusik pagi gue? I think,
the simple answer is this morning gives me another lesson. Pelajaran bagaimana kita harus mengajari anak kita ke depannya untuk mandiri, bisa mengatasi
masalah dan tidak manja. Gue pikir sih, mungkin orang tua di Belanda bisa aja
nganterin anaknya ke sekolah pakai mobil, tapi mereka memilih mendidik anaknya
demikian. Mereka memilih untuk mengajarkan kemandirian sejak dini kepada
anak-anaknya. Bukan maksud menyindir, tapi ketika saya bandingkan dengan
Jakarta, jalanan besar bisa sangat mampet dengan mobil yang mengantar anak-anak
sekolah di hari pertama tahun ajaran baru.
Pikiran ini berhasil membawa gue kembali ke waktu seleksi
beasiswa dulu. Ada sebuah pertanyaan, “Kenapa memilih sekolah di Belanda,
negara yang pernah menyengsarakan kita?” dan jawaban saya saat itu adalah “Saya
tidak bisa memungkiri sejarah tersebut Pak, sama seperti saya tidak bisa
memungkiri bahwa penelitian di Belanda lebih maju daripada di Indonesia saat
ini. Saya berharap saya bisa belajar banyak dari negeri kincir angin ini untuk
dapat dibawa kembali ke Indonesia.” Pertanyaan ini dilanjutkan dengan “Apakah
kamu tidak sakit hati dengan perlakukan mereka dengan negeri kita?” Seingat
saya jawaban waktu itu adalah, “Saya tidak akan pernah lupa dengan sejarah tapi
saya ingin mencoba untuk memaafkan, karena jika kita menyimpan kebencian kita
hanya menghambat perkembangan diri kita sendiri.”
Gue rasa, jawaban gue itu ada benernya. Karena sekarang gue
belajar satu hal lagi dari negeri ini. Gue menyimpan asa semuga harapan gue itu
akan terwujud sampai waktunya gue lulus dari sini nanti. Gue juga berharap hal
yang sama untuk semua pelajar Indonesia yang sedang berjuang di seluruh belahan
dunia manapun.
Selamat menempuh Tahun Ajaran Baru…SEMANGATTT :D