Monday, September 5, 2016

From Cycling to a Reflection ^_^

Hari senin :) , hari pertama bekerja/belajar dalam satu minggu. Hari yang kadang gue artikan sebagai Monster Day (MONDAY) karena hari itu memaksa gue untuk beranjak dari nikmat dan santainya weekend untuk kembali ke rutinitas pekerjaan.
Namun senin ini sedikit berbeda dari senin-senin sebelumnya. Hari senin ini merupakan hari pertama sekolah bagi mayoritas pelajar di Belanda (mungkin juga demikian untuk pelajar di belahan dunia lain). Hari senin ini, jalanan yang biasa gue lewatin lebih padat daripada biasanya, banyak pelajar yang menunggu bus di halte bus kampus, dan gedung tempat gue selama ini duduk berlama-lama di depan monitor dan magang terasa lebih ramai daripada biasanya. Senin pagi ini pun berhasil menggelitik minat gue untuk coret-coret ringan di blog ini.
Pagi ini, ketika gue berangkat ke kampus dengan si sepeda belahan jiwa, yang dipinjamkan oleh seorang warga negara Indonesia baik hati di Utrecht, ada beberapa anak kecil yang mungkin usianya 6 tahunan sedang naik sepeda di depan gue. Rasa-rasanya bocah-bocah imut ini adalah anak-anak yang akan masuk sekolah pertama kali dalam hidup mereka sebab mereka membawa tas punggung dan bersama dengan orang tuanya. Hal yang sangat aneh dan menyentuh dari kaca mata ague (yang minusnya ga perlu dipertanyakan lagi). Anak-anak kecil di sini berangkat sekolah naik sepeda sendiri walau masih belum lancar. Orang tua mereka mendampingi dari atas sepeda mereka masing-masing, memberi arahan bagaimana tata tertib bersepeda yang baik. Bahkan ketika ada satu anak lelaki yang oleng dan hampir jatuh, bapak si anak hanya menyemangati dan membiarkan anaknya untuk mengatasi persoalannya sendiri.
Gue heran, kenapa hal simple ini mengusik pagi gue? I think, the simple answer is this morning gives me another lesson. Pelajaran bagaimana kita harus mengajari anak kita ke depannya untuk mandiri, bisa mengatasi masalah dan tidak manja. Gue pikir sih, mungkin orang tua di Belanda bisa aja nganterin anaknya ke sekolah pakai mobil, tapi mereka memilih mendidik anaknya demikian. Mereka memilih untuk mengajarkan kemandirian sejak dini kepada anak-anaknya. Bukan maksud menyindir, tapi ketika saya bandingkan dengan Jakarta, jalanan besar bisa sangat mampet dengan mobil yang mengantar anak-anak sekolah di hari pertama tahun ajaran baru.
Pikiran ini berhasil membawa gue kembali ke waktu seleksi beasiswa dulu. Ada sebuah pertanyaan, “Kenapa memilih sekolah di Belanda, negara yang pernah menyengsarakan kita?” dan jawaban saya saat itu adalah “Saya tidak bisa memungkiri sejarah tersebut Pak, sama seperti saya tidak bisa memungkiri bahwa penelitian di Belanda lebih maju daripada di Indonesia saat ini. Saya berharap saya bisa belajar banyak dari negeri kincir angin ini untuk dapat dibawa kembali ke Indonesia.” Pertanyaan ini dilanjutkan dengan “Apakah kamu tidak sakit hati dengan perlakukan mereka dengan negeri kita?” Seingat saya jawaban waktu itu adalah, “Saya tidak akan pernah lupa dengan sejarah tapi saya ingin mencoba untuk memaafkan, karena jika kita menyimpan kebencian kita hanya menghambat perkembangan diri kita sendiri.”
Gue rasa, jawaban gue itu ada benernya. Karena sekarang gue belajar satu hal lagi dari negeri ini. Gue menyimpan asa semuga harapan gue itu akan terwujud sampai waktunya gue lulus dari sini nanti. Gue juga berharap hal yang sama untuk semua pelajar Indonesia yang sedang berjuang di seluruh belahan dunia manapun.


Selamat menempuh Tahun Ajaran Baru…SEMANGATTT :D